Kenapa berjilbab setelah menikah??? Lengkapnya: Kenapa
MENUNGGU menikah dulu baru berjilbab?
Awalnya gue berusaha keras membiarkan pertanyaan dangkal dari orang2 ini untuk sekian lama.
Satu persatu perempuan2 di sekitar gue menggunakan jilbab setelah hari pernikahan mereka, bahkan termasuk gue sendiri. Semakin lama semakin banyak, terutama di kantor. Dan pertanyaan pun makin deras mengalir, -
yang ironisnya- paling banyak dilontarkan oleh sesama muslim sendiri, -
yang tragisnya- terkadang bukan hanya berbentuk pertanyaan, melainkan ejekan, sindiran, maupun fitnah.
Oke, pada akhirnya gue nggak bisa lagi menahan rasa gerah gue untuk nggak menjelaskan panjang lebar, jika memang hal sesederhana ini tidak mampu kalian pahami, hai saudara2ku sesama muslim.
Betapa budaya menjatuhkan itu sangat dinikmati oleh masyarakat kita. Saat ada teman yang biasanya jarang sholat, lalu suatu hari terlihat sholat, maka teman-temannya dengan enteng berucap ”
Tumben sholat?!”, ”
Wah, udah sadar lo? Ada angin apa, nih?”, ”
Naaa...gitu dooong!”, atau bahkan ”
Alhamdulillaaah, lo akhirnya insap!”. Yang mana semua itu diucapkan dengan nada ejekan. Tidak sadar bahwa sepatah kata yang sepele bagi mereka, besar dampaknya dan dapat menjatuhkan semangat si teman untuk terus beribadah.
Memang, kalau mau ibadah ya ibadah aja, nggak usah hiraukan omongan miring orang. Tapi gue lagi bicara
dari sisi kita yang melihat mereka menjalankan ibadah, bukankah lebih bijak kalo kita dukung mereka dengan cara yang nggak bikin mereka
down? Kita ini saudara seiman, bukan? Dan betapa sombongnya kita melontarkan kalimat2 itu seolah ibadah kita sudah lebih baik darinya.
Budaya minus orang kita ini juga yang gue anggap ujian buat ketulusan gue berjilbab. Ditanya kenapa nunggu ’laku’ dulu baru nutup aurat seutuhnya, digosipin pake jilbab buat nutupin tekdung sebelum nikah, gue udah kenyaaangggg dg kalimat2 senada itu.....
EEERRGH!! *
sendawa kenceng2, kwaa kwaaa kwaaaa*
Manusia itu, disadari atau enggak, biasanya menunggu momen untuk melakukan sesuatu. Dengan adanya momen, terasa lebih ada motifasi untuk menuju apa yang ingin dilakukan.
Perhatiin aja, kebanyakan mereka yang tadinya nggak berjilbab dan akhirnya berjilbab, hampir pasti melakukannya setelah melalui momen tertentu. Entah itu di hari pertama tahun ajaran baru, hari pertama bulan puasa, hari setelah Lebaran (atau tepat di hari Lebarannya), hari pertama tahun baru (entah Masehi atau Hijriyah), setelah berulangtahun, setelah naik haji, atau setelah sah menjadi milik seorang lelaki muslim
a.k.a menikah.
Kenapa? Bukannya ini sebuah kewajiban setelah baligh dan bisa dilakukan kapan saja?
Memang!
Tapi kalau lo punya pertanyaan itu, gue pun bisa tanya balik. Kenapa orang rame2 bikin resolusi tahun baru, dan mesti menunggu tepat tanggal 1 Januari untuk melaksanakan perubahan2 baik yang menjadi resolusinya itu? Kenapa tidak detik ini? Kenapa banyak orang menunggu Idul Fitri untuk bermaafan? Kenapa orang menunggu tanggal ulangtahun untuk memberikan kado? Kenapa orang menunggu hari Valentine (bagi yang merayakan) untuk mengungkapkan kasih sayang? Kenapa menunggu hari ibu untuk memberi perlakuan spesial untuknya? Kenapa?
Coba ingat2, pasti lo termasuk di salah satunya. Kalo bukan seperti yang gue sebut di atas, setidaknya dalam bentuk lain. Jadi, saat kalian mempertanyakan *
entah dengan niat apa pun* tentang kami yang baru berjilbab setelah menikah, kalian sesungguhnya mempertanyakan prilaku kalian sendiri.
Manusia terkadang butuh momentum untuk memulai tindakannya. Tidak ada penjelasan logis, hanya memang begitu.
Dan inilah momentum kami. Pernikahan.
Di saat Tuhan menganugerahkan kami seorang lelaki beriman menjadi muhrim dan imam seumur hidup, maka ini salah satu bentuk rasa syukur pada Tuhan dan ’kado’ dari kami buat suami. Bahwa dengan jilbab ini kami ingin menyatakan bahwa ”
seluruh jiwa raga ini seutuhnya hanya sah, halal, dan dipersembahkan untuknya” ......... terhitung sejak janji suci pernikahan terucap. *
tidak berarti jilbab akan dilepas jika maut memisahkan hlow, krn tanggung jawab ini ke Tuhan*
Andai pun terlontar dari hati lo ”
Iiih, kok jadi kaya’ tren gini, sih?”, kenapa terusik dengan tren yang baik, sedang tren yang buruk lo wajarkan, tidak pernah lo pertanyakan, bahkan tidak mengusik hati lo sama sekali? Seseorang berbuat suatu ibadah dan menginspirasi orang lainnya, kenapa justru dianggap fenomena yang aneh? Apa bedanya misal dengan seorang lelaki yang tadinya bejat dan akhirnya bertobat setelah berkeluarga, tadinya tidak pernah sholat, setelah berkeluarga baru mulai sholat? Apa karena jilbab ini ada wujudnya hingga lebih mudah untuk dituding?
Sebagai sesama muslim, beratkah untuk ikut merasa bahagia untuk saudaranya yang telah menjalankan kewajiban seorang muslimah? Bukankah lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali? Sedangkan Tuhan saja menghargai ibadah hambaNya, siapa kita hingga berhak mencibir?
Coba tanya lagi sama diri sendiri, jangan2 apa yang kita cibir itu juga kita lakukan, hanya bungkus perbuatannya saja yang berbeda... *_^
Semoga kita termasuk orang2 yang tidak menafikkan perlindungan Allah dari sifat merasa lebih baik dan berburuk sangka.