7 Des 2010

Kamu memang 1, tapi kamu ada banyak


Ada seorang temen cowok di graphic {X} yang sekarang udah keluar, dan dulunya pas masih di sini, dia seriiing banget curhat soal betapa merananya nasib dia di kantor. Dan paling sering sebenernya dia curhat ke gue. Iyaaah, gue emang tong sampah banget dah di kantor, hohoho.

Tapi secara ruangan kita tuh sempit dan umpel2an, jadi ya ga heran kalo 1 ruangan bisa ikutan denger keluh kesahnya. Dan ada satu orang temen cowok laennya {Y} yg sebel banget sama si X ini. Menurut Y, X tuh tukang complain dan ga bisa bersyukur. Dikit2 ngeluh, dikit2 ngomel.

Semua yang dicurhatin X itu pada faktanya emang bener. Gue tau banget, memang banyak hak2nya yang kurang dia dapet. Tapi lalu gue mulai mikir, apa iya dia salah dengan sikapnya itu? Apa semestinya dia mesti lebih ngeliat hal2 yg dia dapet aja dan menutup mata dari hal2 yang ga dia dapet tadi?

Dan lalu gue mulai ngaca. Apa gue juga termasuk yang kurang bersyukur kalo gue suka ngeluhin shift 3 di kantor? Padahal secara keluarga gue 'diuntungkan' dengan shift 3 ini, yaitu gue bisa punya lebih banyak waktu untuk ngurus Kaka, dan dg gitu berarti memberi lebih banyak space waktu juga buat nyokap gue untuk bisa istirahat dari ngurus Kaka.

Proses mikir yang sangat lama hingga akhirnya gue sampe pada kesimpulan berikut ini...


Tidak. Gue TIDAK menyesal atas semua complain gue tentang shift 3.

Dan gue TIDAK menyalahkan X atas semua keluhannya di kantor.

Gimana bisa gitu?

Yeah, kenapa ya kita sering kali lupa, bahwa sebagai fisik manusia, kita memang cuma 1. Tapi secara peran individu, kita ini terbelah2 banyaaakk....sekali!

Itu sebabnya dengan 1 kasus yang sama, kita bisa memberi banyak respon yang berbeda. Karena peran kita bermacam2.

Dalam 1 pribadi, kita menampung peran: makhluk individu, makhluk sosial, makhluk profesional, makhluk bernegara, makhluk beragama, makhluk berpasangan, makhluk berkeluarga, dll, dsb....

1 kejadian gue dicopet misalnya {amit2 sih}. 

Sebagai makhluk individu, respon gue adalah introspeksi, lain kali mesti lebih hati2. Sebagai makhluk beragama, gue istighfar dan lebih memperbanyak sedekah. Sebagai makhluk bernegara, gue tetap melaporkannya ke yang berwajib.

Peran yang satu dan yang lain dalam diri seseorang, bahkan kadang membuatnya memberi respon yang saling bertolak belakang.

Dalam satu scene film seri tentang peradilan, seorang hakim terpaksa ketok palu bahwa terdakwa bersalah {dan dihukum mati}, karena bukti2 begitu kuat menyatakan demikian. Padahal secara individu, dia begitu yakin terdakwa tidak bersalah.  Dan hakim menangis di ruang kantornya usai mengambil keputusan ini.

Dia bukan menyesal. Tangisan itu adalah responnya sebagai makhluk individu. Sementara keputusannya yang tegas di atas meja hijau tadi, adalah peran yang harus ia jalankan sebagai makhluk profesional.

Dia bukan munafik. Dia bukan kena penyakit kepribadian ganda. 

Dia hanya menjalankan peran2nya dengan sebagaimana mestinya. Tidak layak seorang hakim mengambil keputusan hanya berdasarkan feeling personal belaka. Dia wajib bicara & mengambil keputusan berdasar fakta2 yang ada di lapangan.

Dalam scene lain dari film seri Criminal Minds, salah seorang polisi terpaksa menembak mati tersangka di TKP, karena saat dikepung dan diperintahkan angkat tangan, tersangka boro2 nurut, malah dengan sengaja memasukkan tangannya ke dalam saku celana, sebuah tindakan mencurigakan. 

Polisi itu tidak mau ambil resiko. Saat tangan tersangka bergerak keluar dari saku, ia segera menembak tersangka tepat di dada kirinya. "MODAR SIAH....!!" BANG!!

Setelah memeriksa saku tersangka yang tergeletak mati, ternyata kosong, tidak ada apa2. Tersangka sengaja memberi kesan ia hendak mengeluarkan senjata berbahaya, agar ia ditembak mati.

Polisi tadi nampak menyesali keputusannya dan merasa berdosa terhadap keluarga tersangka. Tapi polisi lain menghibur dan bilang,

_____________________________

"Tindakanmu secara profesional tidak dapat disalahkan. Sudah sesuai prosedur. Kita tidak dapat mengambil resiko dengan apa yang dia lakukan tadi. Andai bukan yey, maka eike yang akan menembak deyse, cun..."
_____________________________

 Sebagai makhluk individu dia menyesal. Sebagai makhluk sosial dia meminta maaf pada keluarga tersangka. Sebagai makhluk profesional, tidak ada penyesalan, karena tidak ada kesalahan yang dia lakukan.

Got the big picture here?

Sebagai makhluk beragama, ya gue bersyukur dengan adanya shift 3 membuat nyokap bisa punya waktu lebih banyak untuk istirahat. Tapi sebagai makhluk profesional, gue menuntut shift 3 dihapus dari jadwal para perempuan pekerja, karena itu menyalahi Undang2 Ketenagakerjaan.

Sebagai makhluk bernegara yang punya hak2 umum yang sama rata, maka gue nggerundel seluruh akses jalan umum ditutup seenaknya untuk hajatan pribadi. Tapi sebagai makhluk sosial, selama ini gue selalu maklum, asal ga semua-mua akses diblokir.

Sebagai makhluk beragama, tentu temen gue si X tadi bersyukur dia punya pekerjaan, punya gaji, punya kemampuan & kesehatan utk bekerja. Tapi sebagai makhluk profesional, segala hak yang gak didapet dari kantor yang seharusnya menjadi hak dia, maka dia SANGAT AMAT BERHAK untuk mengeluhkan dan menuntutnya.

Sori 'Y'. Terkadang mengeluh tidak berarti seseorang tidak bersyukur. Man, hidup nggak sehitam-putih itu.

Karena masing2 kita memang cuma 1 sebagai fisik, tapi masing2 kita punya jutaan peran dalam hidup. Itu kenapa dalam 1 kejadian yang sama, seseorang bisa memiliki jutaan respon yang berbeda dalam dirinya sendiri. 

Know what? We're not as simple as animal. We're human, and we are {supposed to be} complex. In the good ways.







.

Related Posts by Categories



Widget by Hoctro | Jack Book

7 komentar:

nakjaDimande mengatakan...

"MODAR SIAH....!!" BANG!!

xixi, yang jadi polisinya siapa des..?
bayangin john travolta yang bilang gitu
**eh, bintang film jaman sekarang siapa aja siyh?


salam udah kenal desy.. hehhe
Bundo udah pernah nangkring disini, baca2.
salam buat Kalum.

si kepik mengatakan...

Hehehe, maap kalo komennya gak nyambung. abis nggak tau mo nulis dimana...

soal payung polkadot, belinya di kemchicks pacific place. kan disana banyak barang2 jepang yang lucu2 dengan 1 harga untuk semua pilihan barang termasuk payung itu. ada beberapa warna, polkadot putih, kuning dan hijau. ada juga yang bergaris kaya permen... sluurppp :)
psssttt... harganya cuma 27rebu lho *biar neng desi makin penasaran pingin beli hehehe*

de asmara mengatakan...

haha! bagooosh, komen ga ada yg nyambuuung... ^o^ gapapa, saya lagi jinak.
buat bundo, makasih dah mampir ya :)
buat jeng Kepik, aku nitip satu dooong yg polkadot putih kaya' punyamu jeeeeng.... (malah makin memperparah OOT nih gue)

Puwi mengatakan...

des.. seetujuuu bgt bgt bgt sm tulisan ini... (semoga yg berwenang di kantor baca blog lo ini).
tp gw jg jd pesaran, siapakah sosok2 misterius itu? hihihi

Anonim mengatakan...

disebuah game yg pernah saya mainkan ada pertanyaan,binatang apa yg otaknya terus berkembang... dan jawabannya adalah manusia!!

what?? gak salah ya orang barat menggolongkan manusia sebagai binatang??

sebagai orang beragama saya gak percaya pada evolusi,sebagai pribadi saya juga gak mau disamakan dengan binatang ,namun sebagai mahluk sosial memang saya mengakui kadang ada beberapa manusia yg berperilaku lebih buruk dari binatang

Tanti Kursyaf mengatakan...

adeeeeh...kok gue bingung yah? gak ngerti.. -____-

Putri mengatakan...

Wah..mbak..Put gak bisa bayangkan kalo misalnya si polisi bilangnya...pake "eike, deyse, yey, and cun.." :D

Harus diakui bahwa setiap individu mempunyai peranan yang berbeda-beda....dan kita lah yang melihat sejauh mana kita boleh mengeluh dan sedalam apa kita patut bersyukur.. ^_^

Posting Komentar